Persahabatan itu sederhana,
Sesederhana pertemuan yang
jarang terwujud secara lahiriah, namun tetap berkomunikasi dalam kebisiuan.
Jadi begini, pernah aku tinggal di asrama. Sudah
lama memang, ya,,, jaman SMP. Di sana aku beradu dengan aturan-aturan yang
tegas, disiplin. Awalnya tersiksa, awalnya menangis, awalnya emosi, awalnya
putus asa. Namun seiring bergulirnya waktu, perasaan begitu terkikis oleh
kebersamaan yang terjaling di sana.
Kami berlima, aku, Siwi, Reza, mbak Vivi, dan
mbak Maya. Kami berlima mempunyai ciri khas masing-masing. Kami semua
mempunbyai keunggulan dan kenakalan masing-masing. Terlepas dari kegeoisan, kenakalan, dan keunggulan kami, kami selalu
punya rasa kebersamaan. Kebersamaan yang selalu terbukti dengan
kesepakatan waktu ke gereja, dan pembagian tugas piket yang tak pernah saling
iri.
Dari keempatnya, aku seangkatan dengan Siwi. Dia
adalah sosok yang dewasa. Dia adalah sosok yang mengayomi. Dan padanya lah
akhirnya aku benar-benar memberi predikat sahabat.
Persahabatan itu sederhana,
Sesederhana melakukan
kegiatan bersama dengan perasaan tulus ikhlas yang terus mengalir dalam rentang
waktu.
Yang kuingat adalah kebersamaan kami yang
sangat menguatkan posisi kami di sana, yang membuat kami betah dengan
aturan-aturan ketat. Satu hal, menjelang ujian akhir nasional (UAN memang waktu
itu namanya), kami selalu belajar bersama. Mulai dari menyiapkan cemilan, kopi,
pembagian meja belajar, sampai materi yang akan dipelajari. Kami selalu
berbagi.
Persahabatan itu sederhana,
Sesederhana ngobrol biasa,
saling mendengar dengan hati, dan memberi
tanggapan berdasar penalaran, logika, berlandas kenyataan.
Banyak hal yang kami bagiu juga akhirnya. Nostalgia
masa kecil kami, tentang keluarga kami, tentang pribadi kami juga. Bahkan,
tentang perasaan kami, perasaan pada teman, pada pengurus asrama, pada guru,
pada orang tua. Dan yang selalu kami bagi
adalah perasaan kami satu sama lain. Bukan hanya jika kami merasa seiya sekata,
tapi saat kami pun merasa kontra.
Persahabatan itu sederhana,
Sesederhana perpisahan
fisik kami, tapi saling memantau. Bukan,
bukan memantau yang saling memata-matai, tetapi saling melihat, jika dalam
pengelihatan baik-baik, kami diam. Diam bukan
cuek, tapi diam kami adalah dukungan untuk sahabat tetap berkembang. Jika
kami melihat ada yang janggal, saat itulah kami berusaha masuk kembali dan
menjadi sandaran.
Persahabatan itu sederhana,
Sesederhana perpisahan fisik kami sampai saat
ini. Sesederhana aliran hidup kami. Sesederhana janji kami untuk saling bertemu
tiap tahun, dan selalu kami tepati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar