Kamis, 25 Agustus 2011

bab II :)


BAB II
KAJIAN TEORI

A.      Paradigma Pedagogi Reflektif
1.    Pengertian Paradigma Pedagogi Reflektif
Paradigma dalam PPR merupakan pola pikir untuk berubah menjadi individu yang tumbuh dan berkembang dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Pedagogi merupakan cara mendampingi untuk tumbuh berkembang secara utuh sesuai dengan kepribadian. Dalam hal ini, Tim Ignatius (dalam modul seminar PPR) menekankan bahwa pedagogi memiliki arti bukan sekedar cara atau metode, namun memiliki visi dan misi menuju pembentukan peserta didik yang ideal. Reflektif berarti menengok ke belakang. Dalam PPR, reflektif mengajak peserta didik untuk melihat kembali tindakan yang telah dilakukan untuk menata rencana tindakan, dengan berpikir, bersikap, dan berperilaku.
“Padagogi merupakan seni dan ilmu mengajar” (Subagya, 2010:22). Dalam PPR, pedagogi bukan sekedar metode, namun meliputi visi sebagai individu yang terpelajar. PPR merupakan pendekatan untuk meningkatkan cara pendidik mendidik dan peserta didik belajar, tumbuh dan berkembang.
 “…PPR yaitu pola pembelajaran yang mengintegrasikan pemahaman masalah dunia dan kehidupan serta pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses yang terpadu, sehingga nilai-nilai yang muncul itu dari kesadaran dan kehendak peserta didik melalui refleksinya. Hasil refleksi itu tercermin dalam perubahan perilaku sehari-hari” (Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia tahun 2008, dalam majalah Educare edisi Oktober 2010 no 7: 3).

Menurut pandangan gereja (Nota Pastoral tentang Pendidikan), PPR merupakan pendekatan pembelajaran yang tidak sekedar mentransfer pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik, tetapi merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik. Interaksi tersebut memungkinkan terjadinya penanaman nilai-nilai kemanusiaan kepada peserta didik.
Melalui refleksi yang dilakukan dalam PPR, peserta didik diajak untuk menyadari dampak positif terhadap  masyarakat yang timbul dari proses pembelajaran, mengasah hati nurani dan meningkatkan kepedulian sosial (Suparno, 2001:43). PPR merupakan suatu model pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk berefleksi agar dapat menemukan nilai-nilai kehidupan dalam suatu proses pembelajaran, sehingga bisa merencanakan tindakan yang berguna untuk menjadi lebih baik. Tindakan yang kemudian dilakukan, bukan karena kepatuhan dan tradisi, namun lebih pada karena kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan. Tentu saja tindakan yang  dilakukan tidak bisa meninggalkan aspek kognitif sebagai tuntutan utama hasil belajar di jenjang sekolah.
Selain memberikan refleksi untuk melihat kembali hal-hal yang sudah dilakukan, ciri khas PPR adalah bertujuan untuk meningkatkan tiga aspek competence, conscience, dan compassion. Competence merupakan kemampuan penguasaan kompetensi secara utuh yang disebut juga dengan kemampuan kognitif. Kemampuan kognitif dalam hal ini adalah kemampuan peserta didik untuk memecahkan soal sehingga mampu mendapatkan nilai yang tinggi. Conscience merupakan kemampuan afektif yang secara khusus mengasah kepekaan dan ketajaman hati nurani. Ketajaman hati nurani dapat berupa kesadaran diri untuk bertindak sesuai dengan tauran yang berlaku, missal berbuat disiplin, teliti, atau jujur. Compassion merupakan aspek psikomotor yang berupa tindakan konkret maupun batin disertai bela rasa bagi sesama. Tindakan yang berupa bela rasa bagi sesama memuat rasa kepedulian, yang membuat peservta didik menyadari bahwa hubungan dengan sesama merupakan suatu hal yang penting. Oleh karena itu, aspek ini dapat diwujudkan dalam proses kerjasama antar peserta didik. Competence, conscience, dan compassion dalam penelitian ini merupakan tujuan yang akan dicapai dalam proses pembelajaran di kelas II SD Kanisius Gayam.

2.    Roh Dalam Paradigma Pedagogi Reflektif
Poerwadarminta (1984:830) mengartikan roh adalah sesuatu yang hidup. Roh dalam PPR merupakan semangat yang menghidupkan PPR. Roh berfungsi untuk memberi kekuatan dan arah dalam mencapai tujuan, serta memberi dorongan batin untuk bertindak.
Roh yang hidup dalam PPR adalah semangat magis. Magis berasal dari bahasa Latin yang berarti lebih (Tim Ignatius dalam modul seminar PPR). “Semangat magis mengandung dua unsur yang harus ada dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yakni peningkatan diri dan cinta kepada Tuhan” (Triyono dalam majalah EDUCARE edisi Juni 2010 no 3 : 43). Dalam pandangan Ignasian, semangat magis tidak mengarah pada kuantitas, tetapi pada kualitas. Kualitas yang diinginkan lebih pada kualitas hubungan personal dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta kepada Tuhan dapat diwujudkan dengan meningkatkan segala aspek kehidupan secara optimal.
Triyono (dalam majalah EDUCARE edisi Juni 2010 no 3 : 44) mengatakan, “butir refleksi semangat magis adalah: menghidupkan rasa syukur atas bakat yang dimiliki, mengembangkan bakat seoptimal mungkin, mempersembahkan diri demi besarnya kemuliaan Tuhan”. Bakat yang dimiliki seseorang merupakan anugerah dari Tuhan, oleh karena itu harus disyukuri dan dimanfaatkan dengan baik. Wujud syukur atas bakat dilakukan dengan mengembangkannya secara optimal yang didasari oleh hasrat untuk menyerahkan diri kepada Tuhan, demi kemuliaan Tuhan.

3.    Tujuan Paradigma Pedagogi Reflektif
a.    Bagi Peserta Didik
Subagya (2010:24) menyatakan bahwa pada dasarnya PPR menuntut pembentukan pribadi manusia secara utuh melalui proses yang unggul, sehingga bakat dan kemampuan dalam berbagai aspek kehidupan dapat berkembang optimal. Aspek kehidupan yang dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran adalah prestasi belajar yang berupa competence (kognitif) yaitu kemampuan penguasaan kompetensi secara utuh, conscience yaitu kemampuan afektif yang secara khusus mengasah kepekaan dan ketajaman hati nurani, dan compassion yaitu aspek psikomotor yang berupa tindakan konkret maupun batin disertai bela rasa bagi sesama.
Pengetahuan kognitif yang baik, diimbangi dengan hati nurani yang tajam, dan kepekaan sosial yang tinggi dapat menjadikan peserta didik memiliki pengetahuan dan sikap batin untuk menyadari hubungan antara ilmu pengetahuan dengan sesama dan lingkungannya. Dengan demikian, peserta didik akan memiliki motivasi untuk bertindak berdasar ilmu dan pengetahuannya, yang diwujudkan dalam aksi yang bermanfaat bagi diri sendiri, sesama, dan lingkungan. Tim Ignatius (dalam modul seminar PPR) mengemukakan bahwa PPR membantu peserta didik untuk menjadi manusia yang utuh, berprestasi, mau berkembang, mempunyai hati nurani yang tajam, berjiwa sosial, dan religius. PPR juga membentuk peserta didik yang berkomitmen menegakkan keadilan dalam pelayanannya pada orang lain dan membentuk pemimpin yang melayani seperti sikap Yesus Kristus.

b.    Bagi Pendidik  
Tim Ignatius (dalam modul seminar PPR) mengemukakan bahwa PPR membantu pendidik untuk mengenal karakter masing-masing peserta didiknya, sehingga dapat menentukan teknik-teknik yang tepat dalam melakukan kegiatan pembelajaran, dan menyajikan materi pembelajaran lebih baik dan menarik. Pendidik yang mengenal karakter masing-masing peserta didiknya akan dapat mendampingi peserta didiknya tumbuh dan berkembang dengan baik. Selain membantu peserta didiknya menjadi manusia yang utuh, PPR dapat membantu pendidik untuk mengembangkan daya reflektif, agar dapat menjdi pendidik yang berkualitas dan berkembang.

4.    Dinamika Dalam Paradigma Pedagogi Reflektif
P3MP dan LPM USD (2009:8) merumuskan siklus PPR yang menekankan langkah-langkah berurutan, sebagai berikut:





Subagya (2010:42) mengemukakan dinamika pelaksanaan PPR meliputi lima langkah yang berkesinambungan dimulai dari konteks à pengalaman à refleksi à aksi à evaluasi. Hasil evaluasi dijadikan titik tolak untuk melanjutkan proses pembelajaran yang berikutnya.
a.    Konteks
Tim Ignatius (dalam modul seminar PPR) menyebutkan bahwa konteks merupakan segala kemungkinan yang dapat membantu atau menghalangi proses pembelajaran. Konteks merupakan keadaan awal (kesiapan) peseta didik untuk berproses dalam suatu pembelajaran. Konteks meliputi  keadaan keluarga, teman sebaya, lembaga pendidikan (sekolah), keadaan sosial, ekonomi, budaya, pengetahuan awal, dan peristiwa nyata yang dialami yang terangkum dalam kehidupan pribadi peserta didik. Konteks berpengaruh terhadap sikap, tanggapan, penilaian, dan pilihan peserta didik.
Subagya (2010:43) menyatakan bahwa kehidupan pribadi peserta didik sehari-hari dijadikan sebagai titik tolak proses pembelajaran yang akan dilakukan. Oleh karena itu, konteks dalam PPR dimulai dari pengalaman hidup peserta didik. Memulai proses pembelajaran dengan pengalaman nyata menunjukkan adanya perhatian dan kepedulian terhadap peserta didik.
b.   Pengalaman
Tim Ignatius (dalam modul seminar PPR) menyebutkan pengalaman dalam PPR memuat pemahaman competence, conscience, dan compassion  yang diperoleh secara seimbang. Subagya (2010:51) membedakan pengalaman menjadi dua, yaitu:
(1)      Pengalaman langsung
Pengalaman langsung merupakan pengalaman yang benar-benar dialami oleh peserta didik. Dalam proses pembelajaran pengalaman langsung berupa diskusi, olahraga, penelitian di laboratorium, kegiatan alam, dan proyek pelayanan. Keadaan tersebut membuat peserta didik merasakan secara langsung materi yang diajarkan.

(2)      Pengalaman tidak langsung
Pengalaman tidak langsung dalam proses pembelajaran berarti proses yang menuntut peserta didik untuk berimajinasi untuk bisa mengerti dan menyelami materi pembelajaran. Pengalaman tidak langsung berupa kegiatan melihat, membaca atau mendengarkan.
Dalam PPR, pendidik berperan sebagai fasilitator untuk memberikan pengalaman pada peserta didik. Pengalaman yang diberikan melibatkan seluruh pikiran, hati, perasaan, dan pribadi peserta didik. Pengalaman memungkinkan peserta didik dapat menemukan hal-hal baru yang sesuai maupun yang bertentangan dengan pengetahuan awal mereka. Subagya (2010:51) menyatakan, dengan pengalaman, peserta didik dapat terdorong untuk mencari pemahaman lebih lanjut dengan menganalisis, membandingkan, dan mengevaluasi sehingga membentuk peserta didik yang berpengetahuan secara utuh.
c.    Refleksi
Tim Ignatius (dalam modul seminar PPR) mengartikan refleksi sebagai kegiatan meninjau kembali pengalaman, topik tertentu, gagasan, reaksi spontan, maupun yang direncanakan dari berbagai sudut pandang secara rasional. Subagya (2010:54) menyatakan bahwa refleksi berarti menyimak kembali dengan penuh perhatian bahan belajar, pengalaman, ide, usul, atau reaksi spontan agar mendapat makna secara mendalam. Dengan refleksi, peserta didik dapat melewati tahap pemahaman, sehingga dapat mengamalkan nilai yang diperoleh dalam kehidupan nyata. Subagya (2010:57) menyatakan bahwa refleksi untuk peserta didik dituntun dengan pertanyaan-pertanyaan dari pendidik, sehingga pendidik harus mampu merumuskan pertanyaan refleksi yang dapat menggugah batin peserta didik.
d.   Aksi
Aksi dalam PPR merupakan komitmen pada kebaikan yang akan diwujudkan berdasar hasil refleksi. Subagya (2010:61) menyatakan bahwa aksi merupakan pertumbuhan batin seseorang berdasarkan pengalaman yang telah direfleksikan. Aksi meliputi dua hal, yaitu:
(1)      Pilihan batin
Pilihan ini didasari oleh keyakinan bahwa keputusan yang diambil adalah benar dan dapat membawa pada pribadi yang lebih baik. Aksi dalam pilihan batin berupa kemauan, perasaan, dan niat-niat yang telah dimatangkan dalam pikiran.
(2)      Pilihan lahir
Setelah niat-niat yang dirumuskan diolah dalam pikiran, peserta didik akan terdorong untuk berbuat secara konsisten sesuai dengan prioritas yang telah dibuatnya. Jika menemukan makna yang positif, maka perbuatan akan menjadi kebiasaan yang menguntungkan. “Misalnya sekarang ia insaf akan sebab-sebab hasil belajarnya yang buruk, ia akan mengubah cara belajar untuk menghindari kegagalan lagi” (Subagya, 2010:63).

e.    Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk meninjau kemajuan yang dicapai dalam proses pembelajaran dalam bentuk penilaian. Tim Ignatius (dalam modul seminar PPR) menyatakan bahwa fokus penilaian tidak hanya pada akademiknya, tetapi juga memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik secara menyeluruh sebagai makhluk pribadi maupun sosial. Oleh karena itu, penilaian dalam PPR tidak hanya berupa soal, tetapi juga meliputi skala pengukuran untuk mengukur kepekaan hati nurani dan jiwa sosial peserta didik.
Subagya (2010:63) menyatakan bahwa evaluasi akan menjadi efektif dan dapat menilai seberapa jauh perkembangan peserta didik jika dilakukan secara berkala. Oleh karena itu, evaluasi dilakukan pada setiap akhir proses pembelajaran.

5.    Keunggulan Paradigma Pedagogi Reflektif
Subagya (2010:67) menyatakan bahwa PPR secara konsisten menekankan penting dan tak terpisahkannya hubungan pendidik, peserta didik, dan materi ajar dalam lingkungan yang nyata. Subagya (2010:39) juga menyatakan bahwa PPR merupakan sebuah perangkat efektif untuk meningkatkan cara pendidik mendidik dan peserta didik belajar. Pola pengalaman, refleksi, dan aksi merupakan suatu rancangan untuk berproses menjadi manusia yang berkompeten, bertanggung jawab, dan berbelas kasih. Dengan refleksi, pendidik dan peserta didik dapat merancang tindakan yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Subagya (2010:68) meyajikan hal-hal yang berhubungan dengan PPR, yang merupakan kelebihan PPR, yaitu:
a.    PPR dapat diterapkan pada semua kurikulum. PPR tidak menuntut tambahan apapun dalam rancangan kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah, selain pendekatan dan cara mengajar.
b.   PPR fundamental untuk proses belajar mengajar. Jika PPR dilakukan secara konsisten, maka dapat membantu peserta didik menemukan hubungan dalam seluruh perjalanan proses pembelajaran.
c.    PPR menjamin pendidik menjadi pendidik yang lebih baik. PPR memungkinkan pendidik untuk memperkaya materi dan susunan proses pembelajaran, sehingga dapat mendorong inisiatif peserta didik. PPR juga membantu pendidik untuk memotivasi peserta didik dengan menghubungkan materi ajar dengan pengalaman sehari-hari mereka.
d.   PPR dapat mendorong peserta didik untuk merefleksikan makna materi yang mereka pelajari. Dengan refleksi, peserta didik akan lebih dapat mendalami pembelajaran, sehingga dapat menemukan maknanya. Oleh karena itu proses pembelajaran dapat membuat pengalaman bersifat pribadi.
e.    PPR menekankan matra sosial belajar maupun mengajar. Proses pembelajaran menggunakan PPR mendorong kerjasama dan berbagi pengalaman serta dialog reflektif antar peserta didik. Mendorong untuk terus bergerak ke arah perkembangan yang berdampak positif bagi orang lain.

B.        Pembelajaran Tematik
1.   Pengertian Pembelajaran Tematik
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (dalam modul Pembelajaran Tematik, 2006:5), “pembelajaran tematik merupakan pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada peserta didik”.  Pembelajaran tematik merupakan proses pembelajaran yang menggunakan tema atau pokok pikiran yang dikaitkan dengan beberapa mata pelajaran dalam satu hari.
Depdiknas dalam Trianto (2009:79) mengemukakan bahwa pembelajaran tematik adalah model pembelajaran terpadu yang  menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna bagi peserta didik. Pembelajaran tematik akan menjadikan proses pembelajaran lebih menarik jika dikemas dengan mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman nyata peserta didik.
 “Pembelajaran tematik merupakan suatu strategi pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna bagi peserta didik” (Depdiknas, 2003:26). Dengan pembelajaran tematik, pendidik dapat menyampaikan berbagai materi dari berbagai mata pelajaran tanpa harus memalingkan konsentrasi peserta didik dalam situasi yang berbeda. Depdiknas (2003:26) menyatakan bahwa pembelajaran tematik dilaksanakan dengan menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan peserta didik, sehingga peserta didik akan merasa bahwa pelajaran di sekolah merupakan bagian dari kehidupannya sehari-hari.

2.   Ciri-Ciri Pembelajaran Tematik
Depdiknas (2003:26) menyebutkan enam ciri pembelajaran tematik, yaitu:
a.    Berpusat pada anak
b.   Memberikan pengalaman langsung pada anak
c.    Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas
d.   Menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran
e.    Bersifat fleksibel
f.    Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak
Depdiknas dalam Trianto (2009:90) mengemukakan ciri khas pembelajaran tematik adalah sebagai berikut:
a.    Pengalaman dan kegiatan belajar sangat relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak usia sekolah dasar
b.    Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran tematik bertolak dari kebutuhan peserta didik
c.    Kegiatan akan lebih bermakna dan berkesan sehingga hasil belajar akan bertahan lama
d.   Membantu mengembangkan keterampilan berpikir
e.    Menyajikan kegiatan yang pragmatis
f.     Mengembangkan keterampilan sosial peserta didik, kerjasama, toleransi, komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain.
Trianto (2009:91) mengemukakan pembelajaran tematik memiliki karakteristik berpusat pada peserta didik, memberi pengalaman langsung, pemisahan mata pelajaran tidak jelas, menyajikan berbagai konsep dari mata pelajaran, fleksibel, hasil sesuai minat peserta didik, dan disajikan dalam prinsip belajar sambil bermain.Trianto (2010:41) mengemukakan bahwa pembelajaran tematik digunakan dalam pembelajaran terpadu model webbed. Pembelajaran ini dimulai dengan menentukan suatu tema. Tema tersebut kemudian dikembangkan dengan menghubungkan dengan mata pelajaran yang akan diajarkan pada satu hari. Secara sederhana, konsep pembelajaran tematik dapat dilihat pada bagan berikut:





 










3.   Keuntungan Pembelajaran Tematik
Depdiknas (2003:27) menyebutkan keunggulan pembelajaran tematik sebagai berikut:
a.    Pengalaman dan kegiatan belajar yang relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak
b.   Menyenangkan karena bertolak dari minat dan kebutuhan peserta didik
c.    Hasil belajar akan bertahan lama karena lebih berkesan dan bermakna
d.   Mengembangkan keterampilan berpikir anak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, dan
e.    Menumbuhkan keterampilan sosial dalam bekerjasama, toleransi, komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain
Depdiknas (2003:27) menyebutkan peran positif pembelajaran tematik untuk peserta didik dan pendidik sebagai berikut:
a.    Peserta didik mudah memusatkan perhatian pada satu tema atau topik tertentu
b.   Peserta didik dapat mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi mata pelajaran dalam tema yang sama
c.    Pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan
d.   Kompetensi berbahasa bisa dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan mata pelajaran lain dan pengalaman pribadi anak
e.    Anak lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas
f.    Anak lebih bergairah belajar karena mereka bias berkomunikasi dalam situasi yang nyata, missal bertanya, bercerita, menulis deskripsi, menulis surat, dan sebagainya untuk mengembangkan keterampilan berbahasa, sekaligus untuk mempelajari mata pelajaran lain
g.   Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara terpadu dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dlam 2 atau 3 kali pertemuan. Waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan
Panduan KTSP (Trianto, 2010:83) menyebutkan, pembelajaran tematik yang merupakan bagian pembelajaran terpadu memiliki beberapa keuntungan, yaitu :
a.    Memudahkan pemusatan pada satu tema tertentu.
b.   Peserta didik mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antara isi mata pelajaran dalam tema yang sama.
c.    Pemahaman materi mata pelajaran lebih mendalam dan berkesan.
d.   Kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman peserta didik.
e.    Manfaat dan makna belajar lebih dirasakan karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas.
f.    Peserta didik lebih semangat belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi yang nyata, unutk mengembangkan suatu kemampuan dalam suatu mata pelajaran sekaligus mata pelajaran lain.
g.   Pendidik dapat menghemat waktu sebab mata pelajaran disajikan sekaligus.
Selain itu, manfaat yang dapat diambil dari penggunaan pembelajaran tematik menurut Trianto (2009:87) adalah:
a.    Tumpang tindih dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan, karena standar kompetensi dan kompetensi dasar yang mirip menjadi satu kesatuan tema
b.   Peserta didik mampu melihat hubungan yang bermakna karena materi pembelajaran lebih ditekankan pada sarana bukan menjadi tujuan akhir
c.    Pembelajaran menjadi utuh sehingga peserta didik mendapat pengertian mengenai proses dan materi yang tidak terpecah
d.   Adanya pemaduan menjadikan penguasaan konsep semakin meningkat
Pembelajaran tematik memberikan keuntungan waktu bagi proses pembelajaran, karena materi yang sama dalam mata pelajaran yang berbeda tidak akan diulang. Sehingga waktu yang ada dapat digunakan untuk memberikan pengayaan materi. (Harsanto, 2007:150).

C.      Penerapan PPR dalam Pembelajaran Tematik
PPR tidak menuntut perubahan format Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah ditentukan sebelumnya. PPR hanya menambahkan nilai kemanusiaan, refleksi, aksi, dan kecakapan hidup. Selain itu, rumusan indikator dan tujuan pembelajaran dalam RPP PPR dibagi menjadi tiga point, yaitu competence, conscience, dan compassion.
Format RPP PPR adalah sebagai berikut:
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Tematik Harian
Satuan Pendidikan        :
Kelas                             :
Semester                       :
Hari, tanggal                 :
Mata Pelajaran Terkait  :
Tema                             :
Alokasi Waktu              :

I.             
Diambil dari kurikulum
Standar Kompetensi
II.           Kompetensi Dasar
III.        Indikator
A.  Competence
Indikator ini mengharapkan hasil pembelajaran berupa nilai yang berwujud angka. Biasanya diukur dengan tes tertulis.
B.  Conscience
Indikator ini merupakan hasil pembelajaran yang berupa afektif dengan menekankan pada ketajaman hati nurani.
C.  Compassion
Indikator ini merupakan hasil pembelajaran yang berua psikomotor dengan menekankan pada kepekaan sosial.
IV.        Tujuan Pembelajaran
Rumusan tujuan pembelajaran merupakan rumusan hasil yang diharapkan dapat dicapai melalui proses pembelajaran yang akan dilakukan.
V.           Materi Pokok
Materi pokok memuat bahan ajar yang akan diajarkan dalam satu hari.
VI.        Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran memuat metode yang akan digunakan untuk menyampaikan bahan ajar.
VII.     Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan memuat nilai yang akan dicapai setelah mempelajari materi.

VIII.  Langkah Pembelajaran
A.  Kegiatan Awal
Kegiatan awal memuat apersepsi yang bertujuan mengantar peserta didik pada kegiatan inti. Disinilah konteks dimunculkan.
B.  Kegiatan Inti
Kegiatan inti memberikan pengalaman kepada peserta didik dengan proses pembelajaran yang menghubungkan materi ajar dengan kenyataan yang dialami peserta didik. Pada kegiatan ini, disampaikan materi dari berbagai mata pelajaran tanpa adanya perpindahan yang mencolok.
C.  Kegiatan Akhir
Pada kegiatan penutup, peserta didik mengerjakan soal evaluasi dan berefleksi secara umum mengenai perasaan selama proses pembelajaran, yang kemudian ditindak lanjuti dengan PR atau tugas yang lain untuk mengembangkan pengetahuan.
IX.        Refleksi
Refleksi mengarah pada perasaan secara khusus terhadap materi yang dipelajari selama kegiatan inti. Refleksi untuk kelas rendah dilakukan secara lisan dengan pertanyaan untuk menuntun peserta didik.
X.           Aksi
Aksi merupakan tindak lanjut dari hasil refleksi. Aksi dapat berupa niat untuk dilakukan di luar jam sekolah, atau kegiatan spontan.

XI.        Kecakapan Hidup
Kecakapan hidup merupakan kecakapan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata, baik dengan diri sendiri, lingkungan, ataupun dengan orang lain.
XII.     Penilaian
Penialaian memuat instrumen penilaian yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik setelah mengalami proses pembelajaran.
XIII.  Alat dan Sumber
Alat merupakan media yang digunakan untuk menyampaikan materi ajar. Sumber merupakan buku acuan atau hal lain yang menjadi sumber belajar bagi peserta didik dan sumber materi bagi pendidik.
Pembelajaran tematik merupakan satu proses pembelajaran, sehingga dalam satu hari hanya ada satu RPP. Oleh karena itu, konteks hanya disajikan pada awal pelajaran, evaluasi dan refleksi pada akhir pelajaran.

D.      Penelitian Tindakan Kelas
1.    Pengertian Penelitian Tindakan Kelas
“Penelitian Tindakan Kelas merupakan penelitien terpakai (applied research), artinya penelitian yang dilakukan guru, dapat memberi nilai tambah dan masukan untuk perbaikan” (Isjoni, 2006:106). Penelitian tindakan kelas dalam hal ini dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran yang diyakini dapat meningkatkan competence, conscience, dan compassion secara optimal. Penelitian tindakan kelas dilakukan karena adanya masalah di dalam kelas yang penting untuk diselesaikan demi tercapainya tujuan pembelajaran. “Melalui penelitian tindakan kelas, kita mengetahui kelemahan dan kekurangan berbagai dimensi pendidikan dan pembelajaran” (Isjoni, 2006:107). Penelitian tindakan kelas memungkinkan pendidik menganalisis kelemahan proses pembelajaran yang telah dilakukan, sehingga mampu merancang proses pembelajaran yang lebih baik untuk kondisi kelasnya. “Melalui hasil penelitian tindakan kelas, guru dapat menemukan solusi dan alternatif atas kekurangan” (Isjoni, 2006:107).
“Penelitian tindakan kelas adalah suatu kegiatan yang diberikan oleh guru kepada peserta didik agar melakukan sesuatu yang berbeda dari biasanya” (Arikunto dalam Mulyana, 2010:124). Penelitian tindakan kelas memberikan pengalaman yang berbeda pada peserta didik, sehingga peserta didik akan termotivasi untuk lebih ingin mendalami materi ajar. “Penelitian tindakan kelas pada umumnya sangat cocok untuk meningkatkan kualitas subjek yang diteliti” (Isjoni, 2006:105). Subjek penelitian ini adalah seluruh peserta didik dalam satu kelas, sehingga motivasi dapat muncul pada diri setiap peserta didik. Maka dari itu, kualitas hasil proses pembelajaran dapat meningkat.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan penelitian dengan langkah spiral. Satu putaran spiral disebut satu siklus. Langkah spiral maksudnya adalah langkah yang selalu diulang untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Pengulangan dilakukan sampai pada siklus ke-n, sesuai dengan yang sudah ditentukan pada tahap perencanaan. Siklus PTK adalah sebagai berikut:
Dalam penelitian ini, PTK dilakukan dalam dua siklus. Rencana tindakan yang dilakukan pada siklus I adalah mengkaji data dari pra penelitian, kemudian merancang proses pembelajaran yang memungkinkan peningkatan competence, conscience,  dan  compassion. Setelah rancangan pembelajaran beserta alat yang dibutuhkan sudah siap, maka peneliti melakukan proses pembelajaran sesuai dengan rancangan. Untuk melihat keberhasilan siklus I, pada akhir pembelajaran dilakukan evaluasi berupa tes tertulis dan non tes. Rangkaian tindakan yang telah dilakukan pada proses pembelajaran siklus I kemudian direfleksi untuk menentukan rancangan pembelajaran siklus II. Pada akhir siklus II, setelah dilakukan refleksi, kemudian diambil kesimpulan untuk membuktikan hipotesis yang telah ditentukan.

2.    Tujuan Penelitian Tindakan kelas
Pada dasarnya tujuan utama PTK adalah perbaikan, yaitu memperbaiki keadaan kelas yang bermasalah. PTK dilakukan untuk memecahkan masalah yang ditemui di dalam kelas, demi tercapainya tujuan pembelajaran. Tujuan PTK menurut Kartika Budi (dalam buku kerja mahasiswa, 2008:12) dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.    Meningkatkan dan/atau memperbaiki proses pembelajaran di sekolah
b.    Meningkatkan relevansi pendidikan. PTK bertujuan untuk menyesuaikan proses pembelajaran dengan karakteristik peserta didik.
c.    Setelah memperbaiki proses pembelajaran dan menyesuaikannya dengan karakteristik peserta didik, maka tujuan selanjutnya adalah meningkatnya mutu pendidikan di kelas.
d.   Disamping meningkatkan mutu pendidikan, PTK bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya yang ada di dalamnya.

E.       Kurikulum Kelas II SD Semester 2 Mata Pelajaran PKn dan Matematika
Kurikulum merupakan seperangkat bahan yang akan diajarkan, atau yang telah direncanakan sedemikian rupa demi tercapainya tujuan pendidikan. “Di sekolah, guru melaksanakan fungsi sebagai pendidik secara sadar dan terencana berdasarkan kurikulum yang telah disusun” (Chamisijatin, 2009:10). Dengan demikian, kurikulum merupakan pedoman pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Kurikulum memuat Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). SK dan KD untuk Sekolah Dasar dibuat berdasar Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, nomo 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, serta nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Mendiknas nomor 22 dan 23.
SK dan KD mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Matematika kelas II SD semester 2 adalah sebagai berikut:
Matematika
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Bilangan
3.      Melakukan perkalian dan pembagian bilangan sampai dua angka
3.1    Melakukan perkalian bilangan yang hasilnya bilangan dua angka
3.2    Melakukan pembagian bilangan dua angka
3.3    Melakukan operasi hitung campuran
Geometri dan Pengukuran
4.      Mengenal unsur-unsur bangun datar sederhana
4.1    Mengelompokkan bangun datar
4.2    Mengenal sisi-sisi bangun datar
4.3    Mengenal sudut-sudut bangun datar

Pendidikan Kewarganegaraan
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
3.  Menampilkan sikap demokratis
3.1. Mengenal kegiatan bermusyawarah
3.2. Menghargai suara terbanyak
3.3. Menampilkan sikap mau menerima kekalahan
4.  Menampilkan nilai-nilai pancasila
4.1. Mengenal nilai kejujuran, kedisiplinan, dan senang bekerja dalam kehidupan sehari-hari.
4.2. Melaksanakan perilaku jujur, disiplin, dan senang bekerja dalam kegiatan sehari-hari.

Proses pembelajaran untuk penelitian dilaksanakan dengan tema gejala alam dan peristiwa. SK dan KD yang termasuk dalam tema gejala alam dan peristiwa adalah SK 4, KD 4.1 untuk Pendidikan Kewarganegaraan, dan SK 4, KD 4.1 dan 4.2 untuk Matematika. Oleh karena itu, perangkat pembelajaran yang dibuat dalam penelitian ini hanya mencakup SK dan KD tersebut.

F.       Karakteristik Peserta Didik Kelas II Sekolah Dasar
Poerwadarminta (1984:932) mengartikan peserta sebagai orang yang ikut serta. Peserta didik berarti orang yang ikut serta dalam proses pendidikan, atau orang yang dididik. Peserta didik dalam hal ini adalah anak-anak yang menerima pelajaran dari pendidik. Peserta didik kelas II berarti anak yang menerima pelajaran dari pendidik di tingkat II pada jenjang Sekolah Dasar (SD).
Menurut Erik Erikson (Santrock, 1995:42), perkembangan manusia dibagi dalam delapan tahap, yaitu:
1.      Trust Vs Mistrust (0 – 18 bulan)
2.      Outonomy Vs Shame and Doubt (18 bulan – 3 tahun)
3.      Initiative Vs Guilt (3 – 5 tahun)
4.      Industry Vs Inferiority (6 – 10 tahun atau sampai masa pubertas)
5.      Identity Vs Indentity Confusion (10 – 20 tahun atau masa remaja)
6.      Intimacy Vs Isolation (20 – 30 tahun)
7.      Generativity vs Stagnation (40 – 50 tahun)
8.      Integrity vs depair (masa dewasa akhir atau sekitar 60an tahun)
Dalam penelitian ini, usia peserta didik yang menjadi subjek penelitian termasuk dalam tahap Industry Vs Inferiority (6 – 10 tahun atau sampai masa pubertas). Pada tahap Industry Vs Inferiority anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan mereka yang diraih sendiri. Permasalahan yang biasanya timbul pada tahap ini adalah munculnya rasa rendah diri dan tidak pandai. Perasaan bangga pada hasil yang dicapainya dapat menjadi motivasi untuk berkembang, misalnya dengan belajar untuk mendapat nilai yang tinggi. Namun, perasaan rendah diri dapat menjadikan peserta didik tidak percaya diri ketika harus bekerjasama dengan teman lain.                                                                                    
Piaget (Santrock, 1995:46) membagi perkembangan anak menjadi empat bagian, yaitu:
1.      Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
2.      Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
3.      Periode operasional konkret (usia 7–11 tahun)
4.      Periode operasional formal (usia 11 – 15 tahun)
Menurut pembagian di atas, maka peserta didik kelas II termasuk dalam tahap operasional konkret. Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari tahapan teori perkembangan Piaget. Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir logis jika menghadapi keadaan secara konkret, misalnya, jika anak dihadapkan pada beberapa benda, anak bisa mengurutkan benda dari yang terbesar sampai yang terkecil. Dengan logikanya, anak mampu memahami bahwa ada hubungan antara penjumlahan dan pengurangan, misalnya 4 + 5 = 9, maka jika 9 – 5 =4. Dengan menggunakan logika, peserta didik hendaknya juga bisa mengelompokkan bangun datar menurut namanya atau jumlah sisinya. Jika peserta didik mampu menggunakan logikanya secara optimal, maka nilai akhir yang diraih dalam mata pelajaran akan tinggi. Gunarsa (1981: 157) mengemukakan bahwa pada tahap ini kemampuan berpikir anak dibatasi pada egosentrisme. Egosentrisme yang dimaksud adalah memandang segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Egosentrisme yang tidak terkendali akan membawa peserta didik pada sikap mementingkan diri sendiri. Jika peserta didik mementingkan diri sendiri, kedisiplinan akan sulit tertanam dalam dirinya. Misalnya dalam antrian, anak ingin berada di barisan depan tanpa memperdulikan temannya. Jika semua anak melakukan seperti itu, maka akan terjadi keributan.
Kohlberg (Gunarsa, 1981:201) membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkat yang masing-masing mencakup dua tahapan, sebagai berikut:
1.      Tingkat Penalaran Prakonvensional
a.  Tahap 1, dimana anak masih mendasarkan tindakannya pada kepatuhan aturan. Mereka melakukan tindakan agar tidak mendapat hukuman.
b. Tahap 2, dimana anak memandang kebenaran berdasar imbalan dan kepuasan dirinya.
2.      Tingkat Penalaran Konvensional
a.  Tahap 3, dimana anak senang menunjukkan perbuatan baik dihadapan orang lain agar dilihat. Hal itu dilakukan untuk mendapat perhatian dan diakui bahwa dia adalah seorang yang baik.
b. Tahap 4, dimana seseorang dapat menerima norma-norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya.
3.      Tingkat Penalaran Pascakonvensional
a.  Tahap 5, dimana seseorang merasa memiliki hak yang wajib dihormati oleh orang lain, sehingga sesorang akan menghormati orang lain untuk bisa dihormati.
b. Tahap 6, dimana seseorang mematuhi sungguh suara hatinya.
Berdasarkan uraian teori Kohlberg, pada umumnya peserta didik kelas II termasuk dalam tingkat prakonvensional tahap 2. Peserta didik masih melakukan sesuatu karena mencari kepuasan diri. Hal itu sesuai dengan teori yang mengemukakan bahwa peserta didik pada usia kelas II memiliki sifat egois yang cukup tinggi.

G.      Kerangka Pikir
Pendekatan Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) menuntut peserta didik untuk dapat menyelami proses pembelajaran secara sadar, sehingga mendapatkan pengalaman yang menjadikannya berkembang. Pengalaman yang didapatkan direfleksikan untuk dapat menentukan tindak lanjut, baik untuk memperbaiki sikap buruk ataupun untuk mengembangkan sikap baik yang telah dilakukan. Rumusan dan tindak lanjut spontan dapat dievaluasi, sehingga bisa merumuskan tindakan yang lebih baik dan lebih konkret untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran dengan menggunakan PPR dapat membantu peserta didik menyadari kesalahannya dalam menerima penjelasan dan cara belajar Matematika dan Pendidikan Kewarganegaraan, serta membantu pendidik untuk mengevaluasi proses pembelajaran yang dilakukan di kelas. PPR dapat membuat peserta didik berusaha lebih giat untuk dapat menerima pelajaran Matematika dan Pendidikan Kewarganegaraan lebih baik. PPR juga dapat membuat pendidik berusaha meningkatkan kualitas proses pembelajaran di kelas. Dengan demikian, interaksi yang terjadi selama proses pembelajaran dapat menjadi lebih baik, sehingga competence, conscience, dan compassion dapat menjadi lebih tinggi dan lebih baik.