Persahabatan itu sederhana.
Hanya ada satu aturan, tidak
boleh mudah tersinggung. Itu saja.
Emang apa bedanya sama teman?
Teman, kalo di FB asal add asal
confirm, udah temen. Kalo di twitter asal saling follow udah temen. Kalo di
dunia nyhata asal pernah ketemu, jabat tangan saling tahu nama, juga udah
temen. Iya se-simple itu.
Tapi persahabatan lebih dalem,
se-simple itu juga sih, Cuma disertai saling pengertian, gak ada iri, dan gak
pernah saling ngrasani di belakang.
*flashback sebentar*
Dulu, aku sekolah di SMA
(katanya) favorit di kabupaten Gunungkidul. Banyaaaaak temen di sana, secara
satu angkatan aja 6 kelas, yang masing-masing 36 siswa. Tapi dari sebanyak itu
–saat itu- sahabatku,,, eemmm satu mungkin.
Sebut saja Ajeng (@Dhi_Aajenk).
Dia adalah seorang yang ku kenal saat aku mulai berstatus siswa SMA. Singkat
cerita, aku memberinya predikat sahabatku. Apa yang aku alami aku ceritakan
padanya. Dan kami bukanlah sahabat yang fanatik, artinya kami tak pernah
melarang satu sama lain untuk bersahabat denga orang lain. Ya, buat kami, bersahabat bukan berarti tak dekat
dengan teman yang lain.
Naikke kelas XI, kami masih tetap
menjalin persahabatan, meski di sini kami mulai mempunyai teman-teman dekat
yang lain. Di kelas XII inilah pembuktian bahwa persahabatan kami tidak
fanatik. Di tingkat akhir ini kami tak lagi sekelas. kami punya teman dekat
masing-masing di kelas. Meski begitu kami masih suka maen bareng saat
istirahat, atau pergi bareng sepulang sekolah. Itulah, meski ada teman dekat
lain, di dalam hati (kami) ku tetap ada tempat untuknya. Sahabat itu seperti potongan puzzle,
potongan-potongan puzzlenya selalu punya tempat sendiri yang tak bisa terganti
olehpotongan lain.
Persahabatan itu sederhana.
Lulus SMA jarak semakin
memisahkan aku dan Ajeng. Selain jarak rumah yang jauh, kami juga kuliah di
universitas yayng berbeda. Bahkan jurusan kami berbeda. Singkatnya, kami tak
lagi sering bertemu, bahkan tak pernah ketemu. Komunikasi pun jarang. Hanya
sesekali sms dan chat di FB. Aku sibuk dengan kegiatan kuliah yang padat
ditambah dengan teman-teman dekat yang baru. Sepertinya Ajeng pun begitu.
Sampai akhirnya, kami lulus. Nah
disinilah aku membuktikan keajaiban persahabatan. Persahabatan kami ku anggap
persahabatan yang sederhana. Tak butuh aturan, tak butuh usaha yang keras.
Dengan sendirinya kami kembali berkomunikasi secara intens. Eemmmm iya sih,
karena adanya merk salah satu gadget yang mempertemukan kami.
Dengan gadget itu pula aku
didekatkan dengan Arom (@kulyl) dan Nami (@namiwidi), yang adalah teman sekelas
Ajeng saat kelas XII dulu. Iya, gadget memang yang akhirnya menjadi sarana
pertemuan kami, tapi yang menjadi point adalah persahabatan kami tak lekang oleh waktu.
Kami berempat berasal dari empat
jurusan berbeda, empat universitas berbeda, dan bahkan salah satu dari kami
tinggal di kota ynag berbeda. Kami tergabung dalam salah satu group di jejaring
sosial dengan username “Semua tentang Rencana”. Kenapa? Karena kami selalu
membuat rencana, tapi sulit menyamakan waktu untuk bisa bertemu :)
Karena kami sadar betul, hidup itu segi banyak, tapi
tak sampai jadi lingkaran, karena masih ada sudut yang memisahkan satu sisi dengan
sisi yang lain. Dan kami meyadari bahwa kebersamaan kami tidak berada di seluruh sisi itu. Kami punya kehidupan di sisi lain.
Yang pasti di “Semua tentang
Rencana” itulah kami berempat selalu bertemu.
Eemmmm indahnya persahabatan
kami, kami sering bertemu di beberapa jejaring sosial secara bersamaan. Di
salah satu jejaring kami bertengkar, di jejaring yang lain kami bercanda. Kami
selalu mengutarakan pendapat kami secara terbuka. Kami tak pernah berpura-pura
setuju kalau kami memang tidak setuju. Kami tak pernah berpura-pura ber-emote senyum
kalau kami memang sedang sedih atau marah, karena kami sadar betul, sahabat
selalu mengatakan yang sesungguhnya. Dan kami tak pernah merasa sakit hati. Sahabat adalah yang selalu
mengatakan yang sebenarnya dan meluruskan tindakan kita, bukan yang membenarkan
semua kata-kata dan tindakan kita.
Sederhana bukan? Ya, persahabatan
itu sederhana, sangat sederhana. Dan entah sampai kapan komunikasi kami akan
selancar ini. Sampai akhirnya satu per satu dari kami nanti mengakhiri masa
lajang, dan punya kehidupan masing-masing. Sampai nanti saat itu tiba pun, aku
yakin, kami takkan pernah saling menjauh, hanya akan mengerti porsi yang
seharusnya :)